Sabtu, 23 Maret 2013

Bab 4. Teori Pendidikan


Disusun Oleh 

Dr. Nancy Susianna

     Mira Rosalina S.Pd, M.T.
     Alfi Syukrina Amir, M.Pd.
     Amiq Fikriyati, M.Pd.
     Ditha Rismayani Priatna, M.Pd.

(STKIP SURYA)        

                                   



    A.     Kompetensi Dasar

      
Memahami  tentang Teori Pendidikan

   B.     Indikator


 Setelah mahasiswa mengikuti perkuliahan konsep pendidikan seumur hidup diharapkan:
1. Dapat menjelaskan 4 teori pendidikan dengan menggunakan kalimat sendiri melalui kegiatan diskusi
2. Dapat memberi contoh 4 teori pendidikan melalui kegiatan diskusi

C.     Materi Teori Pendidikan


Ada empat teori utama pendidikan mewakili pandangan para ahli di bidang pendidikan, yaitu: teori fungsionalitas, teori konflik, teori interaksionis simbolis, dan teori rekonstruksionis.

4.1.  Teori Fungsionalis


Teori Fungsionalis (functionalist theory) berfokus pada cara-cara pendidikan melayani kebutuhan masyarakat khususnya peserta didik. Durkheim merupakan fungsionalis pertama melihat pendidikan dalam mewujudkan peran penyampaian pengetahuan dan keterampilan dasar terhadap generasi berikutnya. Titik tekan lain dari fungsionalis adalah peran laten pendidikan seperti transmisi nilai-nilai inti (core values) dan kontrol sosial.

Nilai-nilai inti dalam pendidikan mencerminkan karakteristik yang utamanya mendukung sistem ekonomi dan politik, dengan pendidikan persahabatan, anak-anak harus menjalani dan mematuhi proses yang sama sesuai dengan jadwal, arah, tenggat waktu, dan otoritas. Pendidikan memiliki nilai paling penting untuk menembus kelas masyarakat atas dasar individualism-ideologi dan menganjurkan hak-hak kebebasan, tindakan independen, dan hak-hak individu (individualism, liberty and rights).

Siswa belajar bermasyarakat dan menghormati siswa yang terbaik, apakah dalam mencapai nilai ujian, poin terbanyak di lapangan basket, mayoret kelompok drumband sekolah, keunggulan ekstrakurikuler, dan lain-lain. Kurikulum dibangun dengan hati-hati untuk membantu siswa mengembangkan identitas dan harga diri (self-esteem)Berbeda dengan di Amerika yang cenderung individualis, siswa Jepang , misalnya, belajar untuk menjadi “malu” jika “berbuat salah”, dan belajar menghargai kehormatan kepada kelompok (social esteem), bukan untuk diri mereka sendiri.

Di negara kapitalis, siswa pergi ke sekolah juga mempelajari pentingnya kompetisi (competition), baik kompetitif melalui kegiatan belajar di kelas atau melalui kegiatan olah raga di luar kelas. Hadiah atau imbalan biasanya memotivasi mereka untuk bermain, sehingga siswa belajar lebih awal untuk mengasosiasikan makna kemenangan.

Manfaat lain dari teori fungsionalis adalah melihat pendidikan memilah siswa berdasarkan kepantasan (sorting)Kebutuhan masyarakat menuntut bahwa orang-orang yang paling mampu disalurkan ke pekerjaan yang paling penting dan strategis. Sekolah mengidentifikasi siswa yang paling mampu lebih awal. Mereka yang mendapat skor tertinggi di kelas dan tes standar masuk program percepatan persiapan masuk perguruan tinggi dan kursus.  Sosiolog Talcott Parsons, Kingsley , David, dan Wilbert Moore menyebutnya sebagai penempatan sosial (social placement). Mereka melihat fungsi ini sebagai proses yang bermanfaat dalam masyarakat.

Disamping fungsi penyortiran, fungsi pendidikan adalah pembentukan jaringan (networking) atau membuat koneksi interpersonal. Fungsionalitas juga menunjuk pada peran ganda pendidikan, baik dalam melestarikan maupun mengubah budaya.  Hasil studi menunjukkan siswa yang belajar pada perguruan tinggi di luar negeri biasanya menjadi semakin liberal ketika mereka menghadapi berbagai perspektif. Dengan demikian, individu- individu yang lebih terdidik umumnya lebih liberal, sedangkan orang-orang berpendidikan rendah cenderung ke arah konservatisme. Pada sisi lain, hasil penelitian menujukkan bahwa lembaga pendidikan tinggi menempatkan mahasiswa di ujung tombak perubahan dalam pengetahuan, dan dalam banyak kasus, juga mencakup perubahan nilai-nilai. Karenanya, peran utama pendidikan untuk melestarikan dan mewariskan pengetahuan dan keterampilan, sekaligus mentransformasikannya.

4.2.  Teori Konflik


Teori konflik (conflik theory) melihat tujuan pendidikan sebagai upaya menjaga kesenjangan sosial dan melestarikan kekuasaan orang-orang yang mendominasi masyarakat. Teori konflik untuk beberapa aspek melihat fungsi pendidikan sama dengan alur dianut oleh fungsionalis. Fungsionalis melihat pendidikan sebagai kontribusi yang menguntungkan masyarakat yang teratur, namun teori konflik melihat sistem pendidikan sebagai mengekalkan status quo dengan cara menumpulkan kelas bawah menjadi pekerja yang patuh.

Baik teori fungsionalis maupun teori konflik setuju bahwa praktik-praktik sistem pendidikan bersifat “menyortir”, namun berbeda konsep tentang bagaimana menyortir permainan peran itu. Fungsionalis menyatakan bahwa sekolah harus berdasarkan pendekatan prestasi (merit system), sebaliknya teori konflik berpendapat bahwa sekolah mewujud semacam kelas yang berbeda dan mengikuti alur garis etnis.

Menurut teori konflik, sekolah memposisikan anak dari kelas pekerja menerima posisi mereka sebagai “kelas yang lebih rendah” dari anggota masyarakat. Teori konflik menyebut peran pendidikan dengan “kurikulum tersembunyi” (hidden curriculum). Inilah antara lain perbedaan antara teori fungsionalis dan teori konflik.

Teori konflik menunjuk pada beberapa faktor kunci dalam mempertahankan posisi siswa. Pertama, pajak property digunakan untuk mendanai sebagian besar sekolah. Karena itu, sekolah-sekolah di daerah yang kaya (misalnya, kabupaten) memiliki lebih banyak uang, daerah seperti ini umumnya dihuni oleh kulit putih atau berwarna. Mereka mampu membayar gaji yang lebih tinggi, menarik guru yang lebih baik, dan membeli buku-buku teks yang lebih baru dan lebih mengikuti perkembangan teknologi. Siswa yang bersekolah di sekolah tersebut kemudian mendapatkan keuntungan besar dalam mengakses perguruan tinggi terbaik dan berpeluang memasuki profesi dengan bayaran yang lebih tinggi. Mahasiswa yang berasal dari daerah kurang makmur tidak dapat menikmati keuntungan ini dan lebih kecil kemungkinannnya mengakses kuliah pada perguruan tinggi yang terbaik. Mereka  ini umumnya memasuki pendidikan kejuruan atau pelatihan teknis, dan umumnya berasal dari kelompok minoritas.

Teori konflik melihat pendidikan bukan sebagai kebutuhan social atau kesempatan, melainkan sebagai sarana ampuh untuk mempertahankan struktur kekuasaan  dan menciptakan tenaga kerja yang patuh bagi kaum kapitalis yang mendewakan kapitalisme.

4.3. Teori Interaksionis Simbolis


Fokus teori interaksionis simbolis (symbolic interactionists) membatasi analisis pendidikan dengan secara langsung mengamati apa yang terjadi di dalam kelas. Mereka berfokus pada bagaimana kemungkinan guru mempengaruhi kinerja, persepsi, dan sikap siswa.

Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson melakukan studi penting untuk pendidikan ini pada tahun 1968. Pertama, mereka meneliti sekelompok mahasiswa dengan melakukan tes kecerdasan intelektual (IQ, intelligency quotient) standar. Para peneliti kemudian mengidentifikasi sejumlah mahasiswa yang memprediksi diri mereka kemungkinan akan menunjukkan peningkatan tajam dalam kemampuan tahun-tahun yang akan datang.

Mereka memberitahukan hasil tes kepada guru dan memintanya mengamati dan mencermati apakah peningkatan ini tidak terjadi. Ketika para peneliti mengulangi tes IQ pada akhir tahun, ternyata para siswa yang diidentifikasi benar-benar menunjukkan nilai IQ  yang lebih tinggi. Arti penting dari studi ini terletak pada kenyataan bahwa para peneliti telah memilih secara acak rata-rata sejumlah siswa. Para peneliti menemukan bahwa ketika para guru mengharapkan kinerja atau pertumbuhan tertentu, hal itu terjadi.

Fenomena ini, dimana asumsi palsu benar-benar terjadi karena seseorang diprediksi, yang disebut pemenuhan diri secara nubuat (self-fulfilling prophesy). Sebagai contoh, pasar saham bisa stabil dengan peningkatan nilai-nilai. Jika investor menjadi takut bahwa pasar akan crash,  bagaimanapun, mereka mungkin tiba-tiba menjual saham mereka, yang menyebabkan pasar jatuh. Kecelakaan hanya terjadi hanya karena investor takut akan melakukannya.
  

4.4. Teori Rekonstruksionis


Reformasi terbaik  adalah reformasi masyarakat untuk dunia yang lebih baik. Agaknya ini menjadi preposisi dasar penganut teori penganut rekonstruksionis. Teori rekonstruksionis dikemukakan oleh George Count dan Theodore Brameld.

Theodore Brameld (1904-1987) adalah pendiri rekonstruksionisme social (social reconstructionism)I, sebagai reaksi terhadap perang dunia II. Dia mengakui adanya potensi yang bertentangan. Di satu sisi teknologi digunakan untuk membantai manusia teknologi secara kejam. George Count (1889-1974) mengakui bahwa pendidikan adalah cara paling tepat untuk mempersiapkan orang menciptakan tatanan social baru ini.

Teori rekonstruksionis social didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat dapat direkonstruksi melalui control penuh atas pendidikan. Tujuannya adalah mengubah masyarakat agar sesuai dengan cita-cita dasar partai politik atau pemerintah yang berkuasa. Konsepsi rekonstruksi social ini didasari atas filosofi Karl Marx dan kemudian dilembagakan di UNI Soviet (sebelum rezim komunis rontok di Negara ini), bahkan di seluruh Negara beraliran komunis.

Teori rekonstruksionisme social disebut juga teori kritis. Teori ini merupakan pemikiran filosofis yang menekankan pada esensi masalah social dan upaya menciptakan masyarakat yang lebih baik dan demokratis di seluruh dunia.

Dalam kerangka rekonstruksionis social dan teori kritis, kurikulum berfokus pada pengalaman siswa dan mengambil tindakan social terhadap masalah nyata, seperti kekerasan, kelaparan, terorisme internasional, inflasi, dan kesenjangan social ekonomi. Strategi untuk menangani masalah-masalah kontroversial (khususnya di bidang social, seni atau kerajinan), penyelidikan, dialog dan berbagai perspektif harus menjadi focus. Strategi pembelajaran harus berbasis masyarakat dan mampu membawa dunia ke dalam kelas.
Rekonstruksionisme adalah cabang progresivisme radikal. Rekonstruksionis melihat masyarakat mengalami kerusakan yang serius. Para rekonstruksionis melihat pendidikan sebagai sarana dan tatanan social baru yang perlu dikembangkan, dengan sekolah-sekolah sebagai agen utamanya untuk membangun generasi ke depan yang lebih baik dan modern. Meskipun tampak otoriter, penganut rekonstruksionis bersikeras bahwa orde pembangunan baru ini harus terjadi secara demokratis. Pendidikan telah dilihat sebagai alat utama dalam mengenali dan memberikan kesetaraan bagi mereka yang menderita kerugian karena perbedaan jenis kelamin, ras, asal etnis, usia, atau cacat fisik. Hal ini menuntut revisi buku teks, kesadaran baru tentang bahasa, dan perubahan criteria untuk masuk pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

Untuk menghilangkan kesenjangan akses antara peserta didik akibat faktor stratifikasi social atau karena sebab lainnya, dikembangkanlah pendidikan inklusi. Perkembangan selanjutnya, usaha-usaha baru reformasi telah dilakukan di bidang pendidikan, misalnya mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan kejuruan untuk mendukung pendidikan seumur hidup dan memenuhi kebutuhan individu dan social yang berubah. Pengintegrasian ini termasuk dalam skema pendidikan inklusi dimaksud. Pertumbuhan yang luar biasa ini, bagaimanapun, telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang fungsi-fungsi yang tepat dari sekolah dan efektivitas untuk hidup, bekerja, atau kemajuan intelektual dari program ini dan strategi pembelajaran

D. Tugas


1. Apa yang dimaksud dengan teori pendidikan ?
2. Jelaskan perbedaan antara teori fungsionalis dengan teori konflik !
3. Berikan contoh mengenai permasalahan pendidikan di sekitarmu atau di daerah tempat tinggalmu yang berkaitan erat dengan teori-teori pendidikan tersebut (minimal satu teori pendidikan)

E. Referensi

Danim, Sudarwam. 2011. Pengantar Pendidikan. Bandung. CV. Alfabeta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar